My First Pregnancy

Teringat saat hamil pertamaku. Saat-saat kelahiran baby Safaraz Almer Abiyu.
Sebelum HPL dokter sudah melihat kondisi kandunganku yang kurang baik.
Saat itu kondisi plasentanya sudah terlalu tua alias mengalami pengapuran plasenta. Artinya asupan makanan yang baik serta oksigen sangat berkemungkinan berkurang. Tapi kondisi air ketuban masih bagus.
Seharusnya baby dilahirkan dalam kondisinya masih bagus, tp saat itu aku belum mengalami mules mules sedikitpun.
Akhirnya aku banyak jalan setiap hari, terutama pagi dan sore, aku ingin segera bisa melahirkan anakku dengan kondisi normal dan dalam keadaan yang sehat.
Seminggu kemudian tak ada perubahan, aku masih belum mengalami mules mules.
Saat periksa lagi ke dokter pengapuran plasenta sudah semakin parah. Dan ternyata aku mengalami Oligohidramnion, yaitu suatu keadaan dimana air ketuban kurang dari normal, yaitu kurang dari 500 cc.
Jika terus menerus dibiarkan akan berpengaruh buruk bagi kondisi bayi didalam kandungan.
Dokter menyarankan untuk segera masuk Rumah Sakit dan melahirkan.
Akhirnya sehari kemudian pagi-pagi aku masuk Rumah Sakit. Ada 2 opsi yang ditawarkan saat itu :
1. Langsung Caesar
2. Induksi, dimana katanya harus siap dengan rasa sakit yg lebih sakit dari mules biasa tanpa induksi serta harus siap dengan gagal induksi.
Yang aku tanyakan soal induksi adalah bagaimana keadaaan si bayi saat kita diinduksi. Apa pengaruhnya bagi bayi apabila diinduksi. Team perawat dan dokter meyakinkan bahwa kondisi bayi akan terus dipantau selama masa induksi. Akhirnya setelah ditimbang-timbang aku memutuskan untuk Induksi dahulu. Aku sudah merasa siap merasakan sakit yang sangat asal anakku bisa lahir dengan selamat. Cairan pemaksa kontraksi pun dimasukkan dengan paksa kedalam tubuhku lewat selang infus.
Menunggu reaksinya membuatku merasa jarum jam berputar sangaaat lambat. Hampir setiap setengah jam sekali aku memanggil perawat dan meminta mereka memeriksa kondisi bayiku. Aku tidak ingin sampe kecolongan kondisi bayiku memburuk saat induksi.
Sedikit demi sedikit rasa mules itu datang dan hilang, tapi pembukaan tak mengalami kemajuan. Waktu sudah menunjukkan jam 9 malam. Saat waktu menunjukkan jam 10 malam hasil pantauan kondisi bayiku menunjukkan kondisi yang kurang baik, detak jantung anak didalam rahimku kecepatannya diatas kecepatan normal. Pengecekan pun dilakukan dengan alat pendeteksi detak jantung janin melalui speaker, sehingga aku pun mendengar sendiri detak jantung anakku yang sangat kencang.
Aku kaget dan menanyakan perawat kondisi anakku. Perawat bilang kondisinya kurang baik. Perawat segera memanggil dokter untuk memeriksa kondisiku dan anakku. Dokter menyatakan kondisi anakku tidak memungkinkan untuk melanjutkan induksi.  Induksi pun dihentikan.
Dokter menyarankan untuk caesar, karena kondisiku yang mengalami Oligohidramnion.
Aku dan suami berdiskusi dan memutuskan untuk caesar. Kami tidak mau berspekulasi atas nyawa si jabang bayi didalam kandunganku hanya untuk bisa lahir normal. Kami ingin anak kami lahir dengan sehat dan dalam kondisi yang baik. Aku sudah terlanjur mencintai anak dalam kandunganku ini melebihi nyawaku sendiri.
Akhirnya jam 12 malam akupun masuk ruang operasi. Tanpa busana hanya berbalut kain operasi. Disuntik obat bius lokal lewat punggung yang lama-lama membuatku tak bs menggerakan bagian bawah tubuhku. Dari pinggang bahkan sampai ujung jari jempol kakiku sekalipun.
Penutup dibentangkan diatas dadaku secara vertikal sehingga aku tak bisa melihat apa yang mereka lakukan pada perutku.
Operasipun dimulai, acara mengeluarkan anakku hanya berkisar 15-20 menit saja, sangat cepat. Anakku menangis dengan kencang saat dikeuarkan dari rahimku, membuatku lega. Sang dokter memperlihatkan mukanya hanya beberapa detik saja, kemudian langsung membawanya pergi.
Aku masih terbaring hingga satu jam kemudian, menunggu operasi penutupan rahimku yang sudah mereka sobek dan acak-acak. Detik demi detik terasa sangat lambat, karena aku sudah meindukan bertemu dengan anakku. Aku menanti sambil meliat tembok ruang operasi. Ruangan yang sangat terang membuatku melihat bayang-bayang di dinding. Bayang-bayang tangan-tangan mengangkat peralatan-peralatan menyeramkan sejenis gunting pisau dan entah apalah nama istilahnya. Saat aku intip perawat dan dokter berlumuran darah. Sedangkan aku sendiri tak bisa melihat kondisiku seperti apa. Mereka mengajakku ngobrol sambil menutup bekas operasi. Dalam hati aku berkata "Awas ya klo ada yang ketinggalan dalam perutku, atau ada yang salah dalam mengobrak abrik perutku....!!!".  Sampai akhirnya semua selesai dan aku dibawa kembali ke kamar perawatan yang nyaman. Tubuhku menggigil hebat. Mungkin efek obat bius yang keras.
Di kamar akhirnya aku dipertemukan kembali dengan bayiku. Anak yang aku kandung selama 9 bulan. Ya Allah terima kasih atas rejeki terbesar yang Kau berikan kepada kami. Yang tak ternilai harganya. Parasnya yang tampan, kulitnya yang putih, tubuhnya yang sempurna. Subhanallah.... Semua perjuangan, semua kesakitan luar biasa yang kurasakan sesudah caesar, semuanya terbayar dengan melihat kondisi anakku yang sehat dan tak kurang suatu apapun..
Dari semenjak itu banyak orang-orang yang memandang sebelah mata karena aku melahirkan secara caesar. Mengolok-olok, bahkan menghina mengatakan karena aku saja yang mau di caesar karena tak mau mengalami rasa sakit. Mereka yang tidak pernah merasakan rasa sakit setelah operasi caesar.
Apakah aku menyesal melahirkan dengan cara caesar?
Tidak sama sekali...
Aku tak mau mempertaruhkan nyawa anakku karena ingin meraih gengsi melahirkan secara normal.
Seandainya aku tidak caesar, anakku blm tentu ada, anakku belum tentu sempurna (dimataku)...
Namun jujur aku ingin bisa melahirkan secara normal, dalam kondisi yang baik. Semoga bisa terwujud di kelahiran anak ke-2 ku.
Insya Allah......
“Every woman wants to deliver naturally, but somehow they lose their faith to deliver naturally, while they have tremendous capacity to do it” – Robin Lim.





Post a Comment

0 Comments